Saturday, October 13, 2007

GREAT FRIENDS ARE HARD TO FIND

Menjelajahi batin di malam yang dingin, tertemani dengan suara berat the Legendary Ray Charles membawakan Amazing Grace. Menanti-nanti datangnya kantuk yang rasanya masih jauh. Lalu terlintas teman-teman lama yang dulu pernah mengisi hati di kala remaja hingga masa kuliah. Betapa waktu cepat berlalu. Membawa tiap-tiap orang ke cerita kehidupannya masing-masing. Teman-teman SMP yang sampai sekarang masih dekat sekali di hati, aku berniat mengunjungi mereka besok, melanjutkan kebiasaan lama yang sampai sekarang masih sering dilakukan, berbagi cerita, berbual tentang masa lalu dan masa depan, dari rumah ke rumah, sambil menikmati kue-kue Lebaran. Banyak sekali profesi yang mereka lakukan sekarang, yang tidak pernah terpikir sama sekali waktu kami sekolah dulu. Ada yang sekarang jadi juragan angkot, ada yang berjualan kacamata, ada yang jadi pemain teater, ada yang dulu hanya setor muka ke sekolah sekarang bekerja di PLN, ada yang dulu mencontekku waktu Ebtanas sekarang menjadi mekanik di PLTU Tarahan, ada yang masih kuliah kedokteran, ada yang sudah punya anak. Gosh...how time goes so fast. Dan sampai sekarang, tulus persahabatan yang kami rasakan persis sama dengan waktu kami sekolah dulu, tentu dengan proporsi pertambahan usia. Tak ada prasangka tentang hal buruk walaupun kami hanya sesekali bertemu diwaktu Lebaran seperti ini, atau juga di hari Natal. Bersyukur sekali rasanya memiliki teman-teman dan rasa yang indah tentang pertemanan seperti ini.

Perasaan tentang teman-teman SMA justru tidak sekuat seperti perasaan yang kurasakan tentang teman-teman SMPku. Entah kenapa. Padahal kebanyakan dan menurut lagu-lagu, seharusnya SMA meninggalkan kesan lebih mendalam. Tapi jika dipikir-pikir ikatan batin tidak bisa diterangkan, alasan-alasan pasti datang jika ingin menggali ‘kenapa’ yang ditanyakan. Pun begitu, senang-senang juga bila bertemu dengan teman-teman dari SMAku.

Mengapa pertemanan yang melintas dikepalaku?

Karena, setelah dipikir-pikir. Mendapat teman banyak, mengikrarkan diri mempunyai sahabat, adalah dari masa-masa sekolah hingga kuliah. Maksudku yang benar-benar bisa dijadikan teman dalam arti sebenar-benarnya. Dimana jalinan pertemanan diuntai sebegitu indah tanpa niat-niat lain. Semua tumbuh sebegitu normal. Dengan kebersamaan yang diperoleh dari pertemuan di sekolah atau kampus, walaupun sesekali terdapat perbedaan pendapat, jika pertemanan dipertahankan sampai umur yang dewasa seperti sekarang, pasti akan terasa sekali esensi pertemanan itu sendiri. Jika sudah mulai terjun ke dunia nyata, dunia kerja atau dunia perkawinan contohnya, sulit sekali untuk memperoleh teman sejati atau sahabat. Di dunia kerja yang penuh intrik, kita seringkali menjadi tertipu dengan tampilan luar. Ketatnya persaingan kerja, biasanya tidak mengenal teman dalam arti sesungguhnya. Ada yang memakai jubah pertemanan untuk menusuk dari belakang. Bahkan ada yang sampai tidak mempunyai teman karena prasangka yang berlebihan. Begitu juga setelah seseorang memasuki dunia perkawinan, rasanya untuk memulai pertemanan baru menjadi sulit. Pertama karena kita tidak lagi sendiri, pasti malas sekali untuk melakukan proses pengenalan dari nol hingga sampai ke tahap sahabat. Atau bahkan tidak lagi mempunyai teman karena terlalu sibuk mengurusi urusan dalam negeri sendiri. Mengurus rumah, mengurus suami, atau suami yang bekerja, belum lagi ditambah anak, semua melebur dalam dunia sendiri yang sulit untuk dimasuki orang lain.

Eiy, kok jadi complicated begini topiknya. Aku hanya ingin berbagi bahwa indah sekali memiliki teman-teman dan sahabat yang hingga sekarang ada di hati dan menempati ruang yang spesial.

Untuk teman-teman SMP Xaverius Panjang: Dak, Deni, Mala, Rosma, Theo, Doni, Dwi, Nenek, Ipan, Lilis, Vani, Asih, dll
Untuk teman-teman kuliah di Maranatha: Kamal (alm), Ronny, Uchie, Angie, Aan, Cucu, Beatrix, Ien, Andi, Erni, Hani, dll

22:49 – October 13, 2007

Friday, October 05, 2007

SEBUAH AWAL DAN AKHIR

Untuk seorang dengan penuh cinta.

Aku menjadi bisu. Dengan segala kegalauan hati yang menyelinap lewat mimpi yang sama dua malam kemarin. Seakan lewat mimpi aku memperoleh jawaban atas apa yang ditanyakan otak sadarku sepanjang hari. Mimpi yang memberikan penjelasan, atau kurang lebih uraian atas apa yang terjadi. Satu-satu kejadian terputar kembali. Kebersamaan yang begitu kental dirasa, ataupun sekedar candaan ringan yang terkadang terselip diantara percakapan, semua berpendar menyeruak kepala. Betapapun hati ingin, betapapun rasa memberontak, tapi logika cukup melakukan tugasnya. Mengawal ketat perlawanan layaknya junta militer di Burma. Rasanya aku cukup tahu diri. Tidak lagi meminta apa yang bukan lagi menjadi hakku. Tidak lagi bertanya tentang apa yang telah dibuat oleh diriku sendiri. Atau apa yang sedang terjadi disana. Dan seberapa besar efek kejadian yang telah kubuat diufuk hati yang jauh. Aku merasa tak pantas saja.

Instingku bilang, dan mimpiku juga bilang, bahwa aku telah menyebabkan kerusakan hati dengan menebar kecewa. Tapi mimpiku semalam bilang kalau ini memang perpisahan itu. Aku dibilang untuk selalu berhati-hati. Bahwa apa yang terjadi memang sudah digariskan untuk terjadi. Suka tidak suka, mau tidak mau, semua harus dijalani. Sebagaimana telah dipikir-pikir akan terjadi, maka dijalani saja. Hidup punya seribu rahasia yang tak seorang pun tahu. Belaian di rambut yang seperti begitu nyata memang benar dirasa. Menitipkan segala kisah pada lemari kenangan dan semua untaian cerita dirangkum pada episode penutup dengan sebuah pelukan yang erat. Dengan linangan air mata kesedihan karena perpisahan, sekaligus kebesaran hati dan kehangatan sebuah pelukan yang diberikan dengan tulus, kepada seorang yang begitu berarti dan tinggal di sebuah ruang hati. Maka aku pun terbangun, menyeka air mata yang ternyata memang nyata, menatap hari ini dengan kerelaan hati, kepasrahan diri, dan juga ucapan syukur, atas seorang yang begitu luar biasa pernah hadir dalam hidup, yang kisahnya takkan pernah lekang dimakan waktu.

Hanya begitu banyak harap tertitip lewat hembusan angin kotaku, sebuah kecupan di pipi, dan ucapan terima kasih tak terhingga.

14:20 – October 05, 2007

Thursday, September 27, 2007

RENUNGAN DARI TRAGEDI MYANMAR

Sekitar seminggu yang lalu, gambar di sebuah koran nasional yang menjadi langgananku, menarik hati dan pikiran untuk membaca artikel dibawahnya. Judul artikel ditulis dengan ukuran font yang besar, “Ribuan Biksu di Myanmar Turun ke Jalan”. Dan sudah sejak itu juga aku mengikuti perkembangan tentang peristiwa tersebut.

Baru kemarin, setelah 10 hari menggelar aksi doa dan tumpah ke jalan, akhirnya pihak pemerintah militer mengambil tindakan atas aksi ribuan biksu / bikkuni ini, mereka digebrak habis oleh pasukan tentara yang sampai pagi tadi ada 4 orang korban tewas. (details)

Yang sebenarnya menyelinap dan nangkring di kepalaku adalah, betapa kekuasaan menggelapkan mata manusia. Terputar kembali memori-memori tentang negeri kita sendiri sebelum reformasi dilakukan. Kekuasaan menjadi komoditi yang sungguh luar biasa berharga sehingga manusia bisa saling terkam layaknya hukum rimba. Kediktatoran pemerintah yang secara inklusif mengatur negara dengan imej kaku dan memenangkan pihak tertentu saja rasanya sulit masuk di kepalaku. Menjadi pemimpin seharusnya menempatkan diri sebagai pelayan. Dimana pemimpin bukan menjadi orang yang disembah, dituruti segala perintahnya, atau menomorsatukan diri. Tetapi terkadang konsep ini menjadi bias karena tertutup oleh materi yang biasanya datang seiring dengan status tersandang. Terkadang materi membutakan mata sehingga lupa akan prinsip dasar ini.

Para pemimpin, negara khususnya, selayaknyalah mendengarkan keinginan dan melihat kebutuhan rakyatnya. Menyejahterakan rakyat dengan hasil yang diperoleh dari rakyat sendiri, bukan malah bertindak semaunya sendiri dan menyejahterakan diri sendiri. Dalam keadaaan genting, pemimpin hendaknya bersedia menempatkan diri di nomor sekian dan mampu mengendalikan situasi.

Apa yang terjadi di Myanmar sungguh menggugah hati, tidak usahlah melihat jauh-jauh, keadaan yang persis sama juga pernah dialami oleh negeri sendiri. Dan apakah hari ini pemimpin-pemimpin negara berubah dan belajar dari masa lalu? Mungkin sebagian ya, tapi mungkin sebagian lagi makin menjadi. Sebetulnya memang semua bermula dari diri sendiri, jika diri mampu berdiri dan berpegang pada prinsip dasar, maka apapun yang datang bersamaan dengan status tersandang, termasuk materi dan kehormatan, hanyalah efek atas perilaku.

Semoga terjadi perubahan ke arah kebaikan untuk semua.

12:31 - September 27, 2007

Tuesday, September 18, 2007

SALING

Tidak mudah menyembuhkan luka hati. Betapapun hati disulam, ditambal, dan ditumbuhi kulit baru, hati tak seperti kaki. Hati tak seperti lengan. Yang jika terluka, bisa sembuh dengan perawatan yang benar. Karena hati bukan hanya bisa merasakan sakit. Tapi hati juga berhubungan langsung dengan perasaan. Dengan emosi dan juga dengan pikiran.

Luka hati yang begitu parah, bisa membuat manusia lembut menjadi cacat emosi bahkan cacat jiwa. Bila seseorang memilih untuk mengklamufase dan menutupi lukanya, bisa jadi ia seperti zombie, yang hanya tahu menjalani rutinitas tanpa hati. Sulit bagi seseorang dengan luka ini untuk kembali menyatukan hati, menyembuhkan diri, atau berusaha untuk mengkompromi rasa yang dirasa.

Mungkin reaksi luka akan bermacam-macam ditimbulkan tergantung dengan karakter pribadi masing-masing. Ada yang bisa dengan mudah bangkit dan tidak mau mengingat-ingat kesakitannya, tapi ada yang memang sulit untuk bangkit karena memang terlalu berat dan parah sakit yang di derita. Butuh banyak sekali nyali untuk bisa kembali mengangkatnya dari jurang gelap. Nyali yang dimaksud adalah kasih tulus yang tak boleh putus, kerelaan untuk berada di jurang gelap jika tiba-tiba sakit itu kembali, dan memelihara apa yang diberikan dengan sepenuh hati. Mungkin terdengar rumit. Tapi pada dasarnya, setiap manusia hanya ingin diperlakukan seimbang. Selayaknya memberi, selayaknya menerima. Tahu menghargai, dan bisa menghargai.

Rasanya kebutuhan itu adalah pondasi bagi jiwa. Tak ada satu hal pun yang bisa menandingi rasa ketika kita diperlakukan seimbang oleh orang yang kita perlakukan dengan seimbang juga. Dengan kata lain, mungkin juga boleh disebut saling menjaga, dengan tulus, dari hati. As simple as that.

Semoga setiap orang bisa menemukan orang yang dimaksud. Yang tak pernah berubah walau dimakan waktu, dimakan jaman, dimakan situasi.

Semoga saja.

16:30 – September 18, 2007

Friday, September 14, 2007

HATI YANG ANEH

Sesekali memang bisa terjadi. Sebuah perasaan yang tak menentu datang tak diundang, menghantui setiap langkah sepanjang hari. Entah apa sebabnya juga tak persis tahu. Tapi sang hati hanya murung sehari penuh tak bersebab.

Kutipan-kutipan cerita lama kembali terputar di kepala. Tapi sakit dan perihnya tetap dirasa dalam waktu yang sekarang terpijak. Semua datang, memporakporanda isi kepala dengan segala tanya tentang hak dan kewajiban, tentang apa yang boleh dan tidak boleh, tentang ingin dan tidak ingin.

Jalan telah terbentang panjang di depan mata. Tapi seribu beban masih terpanggul dengan segan. Pertentangan logika dan hati kerap menjadi cermin yang bermuka dua. Dua sisi mata uang yang tak pernah bisa berteman. Hanya diri yang lalu jatuh terduduk, terdiam di sudut ruang pikiran.

Jejak kaki, begitu aku sering menyebutnya.
Catatan atas hidup, tentang apa yang pernah dilewati, dilalui, dirasa, hingga membentuk seseorang menjadi ada di detik ini. Seharusnya seseorang patut melihat ke depan saja, tanpa perlu menengok lagi ke belakang. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa jejak kaki yang dibuat menjadi pajangan di rak ingatan, menjadi rambu bagi langkah ke depan.

Setiap kala menjatuhkan pandang pada masa lalu terkadang membuat kita lebih bersyukur, tapi terkadang juga kembali meruntuhkan benteng pertahanan diri. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, atau sekedar sesal berkepanjangan, langsung menggantung di sisi-sisi hati.

Hari ini entah kenapa, diri merasa begitu tak tentu. Tak beraturan. Tak berarah. Ada sesuatu yang mengganjal berat di hati. Entah apa.

16:10, September 14, 2007

Thursday, September 13, 2007

AWAL RAMADHAN

Teman-temanku Muslim memulai bulan sucinya hari ini.

Sebuah konsep penyucian diri yang kupikir adalah sungguh luar biasa. Menahan lapar, haus, dan segala nafsu badaniah, serta yang paling penting adalah melawan musuh terberatnya, diri sendiri. Adanya bulan Ramadhan adalah berkat, dimana manusia diberi kesempatan untuk melakukan penyucian diri, melihat jauh ke dalam diri. Menilik apa yang telah diberikan Yang Kuasa, mensyukuri segala suka dan duka, dan juga pelajaran hidup. Diberi waktu, diberi tempat, diberi kesempatan. Sudah sepantas dan selayaknyalah apa yang diberi dipergunakan sebaik-baiknya. Semoga para sahabat diberi kekuatan untuk bisa menjalankan bulan suci ini dengan sungguh, dan semoga bisa menemukan apa yang dicari dalam diri sendiri.

Selamat berpuasa, para sahabat.

15:35, September 13, 2007

Wednesday, September 12, 2007

Up in the shed...

It's just nothing in mind.

Semua datang hanya melewati hari, tidak ada yang menganggu hati, tidak ada yang mengguncang kepala. Semua hanya dijalani. Tak ada ingin lagi mengurainya dalam kata. Semua hanya dilewati. Pagi menunggu siang, siang menunggu malam. Walau banyak dirasa, yang terlewati hanya disimpan di kepala.

Tak ada lagi target yang membebani pundak. Melepaskan ingin dan ketidakinginan menjadikan diri hanya tahu hidup, hanya tahu menjalani.

Biar saja apa yang diingini terurai dalam hati, dapat tidak dapat, diri hanya menyimpan ingin. Apapun yang dihadapi di depan nanti, maka nantilah akan dihadapi. Sejauh hati berkeinginan, selama diri melakukan yang terbaik, maka yakinlah, yang terbaik juga yang didapat.

16:15, September 12, 2007

Monday, May 14, 2007

DALAM RAGU

Menjadi diri dengan semua rasa hari ini mungkin bukan pilihan yang baik. Tapi menjalani hari ini tidak bisa memilih paket rasa yang juga ingin dirasakan hari ini. Ia datang dengan sendirinya, seiring dengan berputarnya jarum jam. Sang hati pun menghasilkan sendiri apa yang hendak dirasa. Segala sedih dan perih bukanlah pilihan yang dipilih hari ini. Berjuta beban di dada kiri menghimpit seperti koreng yang menganga, merejangi setiap sel rasa sakit, menyerangnya dengan voltase kekecewaan yang berulang, juga menyiramnya dengan cuka kerendahan diri yang tak berkesudahan. Maka benteng diri yang kokoh pun sekarang hanya tinggal pagar bambu yang rapuh. Kekuatan diri berada di jarum bertunjuh huruf ‘E’ untuk empty. Tak ada kekuatanku untuk berlawan jika begini. Hanya ingin diam. Menikmati semua efek nestapa itu dalam setiap hirupan nafas. Mengingatnya sebagai kenyataan yang tak bisa dipisahkan dari diri.

Belakangan diri mudah sekali jatuh dan para demons dengan segera menangkapku dalam rengkuhnya. Berpesta pora mengacak-acak pikiran serta hati yang labil, yang gamang. Tak ada tempatku untuk sekedar sembunyi, berteduh di balik punggung siapa pun yang melintas juga tak mampu. Mereka hanya melintas. Tidak mengerti apa yang sedang merentangku begitu jauh.

Boneka-boneka tangan yang seperti palsu memainkan perannya dengan sempurna, meyakinkan aku bahwa memanglah nyata yang terjadi. Tak sekalipun rasa itu berbohong. Mereka berhasil dengan baik memanipulasi keadaan di luar pikiran dan menginterpretasikannya sebagai alat pengendali suasana hati. Bodoh diri ini. Sungguhlah bodoh. Berpikir-pikir utas tali kecemasan memandang hari esok dan yang akan segera datang. Jalan ini menuju kemanapun tak ada yang tahu, dan aku hanya segumpal debu tertiup angin ketidakpastian. Jarak yang ditempuh, angka kilometer hidupku tidak lagi sedikit, tapi mengapa selalu saja dihadapi kebimbangan yang itu-itu juga. Bukan menentukan arah yang membingungkan tetapi apakah diri pantah berada di jalan ini. Semua hal sederhana menjadi rumit, dan hal rumit menjadi gunung batu. Tak pernah sekalipun dijangka akan sehebat ini efek mental yang ditimbulkan atas pengkhianatan itu.

Meragukan apa yang orang lain rasa untukku memang sering sekali ditanyakan hati. Apakah mereka benar-benar tulus merasakan itu untukku, atau hanya sekedar kasihan, atau memang keterharusan yang diberikan. Semua bertumpuk menggoyahkan sudut di rumah hati dan kepala. Mengombang ambing diri dengan semua pertanyaan konyol. Bukan pun disengaja semua itu, mereka adalah olahan sempurna hasil karya pikiran yang terkadang terkontaminasi oleh amarah yang tersimpan rapat. Maka, diri hanya tinggal badan tanpa pikiran. Tubuh tanpa perasaan. Menjalani hari-hari yang terasa beratus kali lebih berat dengan semua beban itu. Biar saja semua dilewati, memperjuangkan diri agar yakin kepada diri sendiri, bahwa diri memanglah diri. Dan beginilah adanya diri. Konsekuensi atas perbuatan di masa lalu. Maka jalani saja hari ini.

11:45 – May 14, 2007