
Belakangan malah seperti menjadi mahkluk sok tau dengan pandanganku yang subjektif. Mencoba menjadi juri atas kejadian-kejadian yang dialami. Menjadi sok paling benar dengan segala pemikiran yang ternyata kalau ditilik tersimpan kepentingan pribadi yang egois. Terkadang diri menjadi lupa tentang bagaimana berkaca kepada diri sendiri. Melepaskan jubah kepentingan atas orang yang bersangkutan atau bahkan memoloskan diri dari segala ingin sehingga kata-kata yang keluar lewat mulut adalah kata-kata yang memang telah melalui proses sensor dan pemikiran yang matang. Bukan hanya sekedar kata.
Tanpa diminta, diluar sadar, kita bisa dengan mudah menilai ini itu dari sebuah objek yang terpampang di depan mata. Bagaimana seharusnya orang itu begini begitu, bagaimana seharusnya orang ini bertindak, bagaimana seharusnya orang ini merasa. Mudah saja semua terlontar. Menjadi nilai-nilai bagi orang tersebut tanpa melihat dari sisi orang itu sendiri. Mengambil berat atas pertimbangan-pertimbangan yang tidak diperhitungkan oleh sang pemberi nilai. “Kalau gue jadi elu...”, atau “Kalau gue sih...”, atau “Dia itu harusnya...”, atau “Masa gitu aja nggak bisa...”...dan puluhan pengandaian lain yang mengandung nada tendensius. Semua penilaian yang subjektif menurutku. Walaupun tersirat bahwa kalimat-kalimat itu mengandaikan si pemberi komentar ada di posisi yang mengalami, tapi jika ditelisik lebih jauh, kalimat-kalimat itu tidak menempatkan diri di lingkaran sesungguhnya. Seharusnya, orang dapat mengandaikan diri berada dalam posisi yang sama, dengan pertimbangan-pertimbangan yang sama pula. Aspek-aspek apa saja yang memang diperhitungkan, sehingga kerusakan yang diakibatkan dapat diminimalisir. Kita tidak bisa seenaknya menyarankan orang lain untuk begini begitu karena memang kita tidak bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Kita bukan mereka, dan mereka bukan kita. Setiap orang dikaruniai dengan kepribadian yang bermacam-macam. Yang Kuasa telah dengan sempurna memberikan kelebihan dan kekurangan bagi masing-masing pribadi dan bagaimana output yang dikeluarkan menjadi reaksi yang terkadang sulit dimengerti orang lain.
Lalu apa yang dilakukan jika hati dan pikiran tidak lagi dapat berpikir? Seperti mengambil jalan panjang yang berliku di tengah labirin kehidupan, dan ternyata terbentur dinding tinggi dan di kanan kanan kiri yang ada hanya jurang tak berdasar. Seperti itu rasanya menjadi putus asa mungkin...(mungkin). Tapi Yang Kuasa juga membekali kita dengan logika yang bisa mengawal semua tindakan dengan perhitungan logisnya, betapapun hati terkadang sudah menyerah. Maka tinggal bagaimana hati dan logika kembali berada di jalan buntu, berupaya bekerja sama untuk tetap bertahan. Atau bahkan hanya naluri yang diperlukan di saat-saat seperti ini? Entahlah...Aku bingung.
For the half part:
I don’t know what to do either...I wish I knew the way out.
15:41 – April 3, 2007

3 comments:
thanks for the 'foot print'.
well....enjoy your life! simple but yes...it's not easy, been there and done that....not an easy thing to do...enjoy our life.
"Menulis adalah menterjemahkan pengendapan fikiran atas kejadian, peristiwa atau kesan yang tertangup dalam ruang bernama renungan. Penulis yang baik adalah yang bisa mengekspresikan sifat individualitas si penulis"
Ada kalanya kita mengalami kepingsanan logika atau katumpulan akal, karena himpitan pertempuran antara hati dan akal sehat. Pendapat dari kepala lain tetap obyektif selama wujudnya adalah pendapat... I appreciate this writing so much, mbun...
Kalau sudah tak dapat berpikir lagi...
Teriak itu ampuh banget lho...
Coba deeh :))
Post a Comment