Thursday, March 15, 2007

NEGERI DI AWAN

Terpampang tulisan di depan sebuah tempat yang sederhana tetapi nyaman. Bertuliskan, “24/7/365”. Di dalamnya duduk seorang tengah baya yang sibuk mencatat dengan tekun, entah apa yang ditulis. Raut wajahnya terlihat tenang, rambut putih mulai menghiasi kepalanya sana sini. Ada ekspresi ekstrem sesekali terlihat lewat kernyit dahi, tapi lalu begitu saja. Ia masih tekun menulis, dengan tekun menorehkan tinta pada buku tebal dihadapannya. Sepoi angin menyibak wajahnya, ia berpaling sebentar menengok ke kiri dan menghela nafas panjang.

“Makin banyak orang kehilangan harapan belakangan ini”, gumamnya.
Tapi ia masih tetap menulis. Telinganya tajam terpasang.

Tidak lama kemudian ia bangun dari kursinya, menutup dan membawa buku tebalnya. Entah dari mana datang seorang laki-laki setengah baya yang lain, tiba-tiba berdiri di belakangnya. Lalu menggantikan tugasnya menulis. Laki-laki pertama melangkah keluar, menjinjing buku tebal di kepit lengannya. Jubah putih abu-abu terkibas seiring ia berjalan. Langkahnya pelan tapi pasti, menapaki jalan tapak yang bersih menuju ke suatu tempat. Di tepi-tepi tidak ada orang terlihat, hanya kabut tipis yang menutupi pemandangan. Sang laki-laki mantap menapakkan kaki mencari tujuannya.

Berhentilah ia di depan pintu gerbang tinggi, disampingnya tetap saja kabut tebal dan tipis yang menjadi penghias. Bergegas ia masuk, tatapannya lurus ke depan, melihat sebuah istana putih yang berkilauan dengan cahaya. Perlahan ia melangkah, memejamkan mata sebentar lalu kembali melangkah pasti. Ada seseorang yang menunggu di ujung ruangan besar itu, tapi tak jelas sosoknya karena sinar putih terang sekali datang dari belakangnya. Sang laki-laki sepertinya sudah terbiasa dengan hal itu, ia hanya membetulkan letak buku tebal yang dikepitnya lalu dibuka mulai halaman pertama. Hening di beberapa detik pertama.

Bagaimana catatanmu hari ini?” tanya sang sosok yang berkilauan itu.
Seperti biasa, Tuanku. Semakin hari semakin tebal buku yang saya tulis”, jawab laki-laki.

Apa yang mereka ceritakan padamu?”

“Kebanyakan tentang keputusasaan, Tuan. Semakin hari mereka semakin kehilangan harapan”

“Ah, anak-anakku itu. Mereka tidak sepenuhnya menggunakan apa yang Kuberikan”

“Ada seorang yang bertanya kepada saya, Tuan. Dia bertanya kenapa Tuan hanya tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang susah hati yang sedang dilandanya”

“Ya, aku juga tahu. Aku juga mendengar ketika ia bertanya padamu. Jauh sebelum ia mempertanyakan hal itu, Aku sudah merancang cerita hidupnya.”

“Saya mengerti, Tuan. Tapi ia menghendaki jawaban yang nyata, yang bisa ia lakukan mungkin sebagai petunjuk jalan keluar dari semua masalahnya”

“Aku selalu memberi jalan keluar, engkau juga tahu itu. Aku menuliskan cerita hidupnya dengan segala naik turun dan susah senang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apapun yang harus dilewatinya hari ini, memang harus dilewatinya. Yakinlah, kalau aku merancang semua ini demi untuk kualitas jiwanya semata dan akhir yang indah”

“Ya, Tuan. Terkadang mereka hanya sulit melihat apa yang ada dibalik semua kesusahan itu”

“Jawabku biar saja menjadi rahasiaku sendiri. Jangan pernah berhenti memberikan mereka cinta yang Aku miliki, karena cintaku tidak akan pernah habis, bahkan berlipat ganda ketika mereka menyadarinya”

“Lalu, apa yang harus saya jawab kepada mereka, Tuan?”

“Tidak ada. Biar saja itu menjadi tugasku.”

Seketika sinar terang itu hilang. Yang ada hanya tinggal kabut dan dingin yang menusuk. Tidak ada lagi istana putih dan juga gerbang tinggi disana. Sang laki-laki pun membungkuk dan pergi, perlahang menghilang bayangannya ditelan kabut.

Tertinggal secarik sobekan kertas ditengah kabut. Diatasnya tertulis.

Aku takkan pernah berhenti mengasihi anak-anakku. Tak sedetikpun.

Dan angin meniup kertas itu dan terbang bersama nyanyian sangkakala.

11:25 – March 15, 2007

No comments: