
“Are you chinese?”
“Ya, mata sipit dan kulit putih.”
“Good...Kamu nggak tersinggung aku tanya itu kan?”
“Nggaklah. Masa gitu aja tersinggung..”
...
Dulu sekali...dulu sekali...
Aku sering berpikir pikir, mungkin sedikit menyesal, kenapa mataku sipit dan kulitku putih, dilahirkan di keluarga bersuku keturunan. Pada jaman sekolah dulu, mungkin aku sempat merasakan diskriminasi dari lingkungan sekolah (walaupun tidak kentara) karena hal satu ini. Sesekali juga merasakan tatapan orang sekitar yang memandangku ‘aneh’. Ketika berjalan di tempat ramai, naik kendaraan umum, atau hal lain yang wajar dilakukan sehari hari. Mungkin juga karena pola pikirku saja sebagai anak umur sekolah yang masih belum mengerti banyak soal hal ini. Tetapi, aku sendiri tak pernah sengaja memilih milih teman. Dari suku dan agama apapun, selama ia baik dan menyenangkan, aku pasti dengan tangan terbuka menyambutnya sebagai temanku.
Lalu, sekarang...
Orang orang yang menjadi sahabat terdekatku bahkan tidak ada juga yang sesuku denganku. Bukan sengaja juga, tetapi memang hanya begitulah adanya. Sahabat sahabat terbaik itu memandangku unik, sebagaimana aku memandang mereka. Lengkap dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Berjuta cerita telah terbagi, sedih senang, untung malang, menjadi bekal kenangan indah di tas pengalaman hidup.
Lalu, sekarang...
Di umur yang ke dua puluh tujuh tahun ini, setelah sedikit banyak mengenal dan mengetahui berbagai jenis kepribadian manusia, aku berbangga menjadi orang keturunan (dalam arti baik tentunya). Ternyata, keragaman suku memang sungguhlah keajaiban Yang Kuasa dalam menciptakan mahkluknya. Setiap suku memiliki karakteristik dan kepribadian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikan itulah yang seharusnya bisa dilihat sebagai perbedaan yang melengkapkan.
Entah kenapa...
Hidup menjadi golongan minoritas di negeri ini, sejak jaman nenek moyang dulu, secara sengaja ataupun tidak, orang keturunan Cina khususnya, diperlakukan berbeda. Dari lingkungan sekitar, bahkan oleh negara sekalipun. Orang keturunan diidentikkan dengan orang yang selalu makmur sehingga selalu bisa diperas, dan tidak pernah dianggap sebagai ‘orang sendiri’. Beberapa waktu lalu, artikel di surat kabar nasional mengulas tentang bagaimana sekian banyak orang keturunan yang sudah ada beregenerasi di negeri ini, masih saja berstatus warga negara asing. Padahal, kebanyakan mereka sudah lahir dan beranak cucu disini.
Secara pribadi...
Tidak seharusnya manusia dikotak kotakkan karena suku, agama, ras, ataupun hal hal pembeda lainnya. Hanya ada satu patokkan bagaimana harus menilai seseorang, yaitu sikap dan kepribadiannya. Dimana pembawaan diri menjadi cermin untuk menentukan kualitas manusia. Bagaimana ia bersikap kepada sesama, dan bagaimana ia menyikapi hal hal yang terjadi di sekitarnya dengan baik.
Bagiku...
Mata sipit dan kulit putihku sekarang, menjadi kebanggaanku, karena aku bisa memandang semua perbedaan dengan baik sejauh ini.
“Aku kangen matamu yang sipit...”
Sebuah kalimat yang pernah mampir di telingaku beberapa waktu lalu...

No comments:
Post a Comment