Monday, October 30, 2006

KESEMPATAN DAN NIAT

“Ingat! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”

Mungkin kalimat tersebut sudah familiar didengar dari seorang yang bernama Bang Napi, dengan wajah setengah tertutup topeng di setiap akhir tayangan sebuah acara berita kriminalitas di sebuah televisi swasta. Tilik punya tilik, kalimat itu memanglah cikal bakal terjadinya sebuah kejahatan. Dengan alasan dan dalih tertentu, mengeruk keuntungan untuk diri sendiri, dengan cara instan dan tentu saja merugikan orang lain. Mulai dari seorang pencopet hingga mafia kelas kakap, praktik kejahatan biasanya dilakukan semata mata untuk sebuah alasan yang sebenarnya klise, uang. Meningkatnya harga kebutuhan pokok, uang sekolah anak, sanak keluarga yang sakit, ongkos pulang kampung, atau hanya sekedar kepingin memiliki materi yang sedikit berlebih, atau juga beribu alasan lain bisa menjadi benih yang dapat berkembang (karena faktor keterdesakan atau urgensi) menjadi sebuah niat melakukan tindak kejahatan.

Niat yang tumbuh dalam diri seseorang bisa saja tidak jadi terlaksana karena tidak adanya kesempatan. Dalam situasi yang lain, perampok bank misalnya, menciptakan kesempatan sendiri untuk memperoleh timing yang tepat untuk merampok. Bisa saja dengan trik menggemboskan ban korban, mengintai dan mempergunakan kelengahan korban, bisa juga dengan cara paksa atau bahkan sampai tingkat pembunuhan korban. Semua tindak kejahatan membawa dampak kerugian yang tidak sedikit bagi para korbannya. Trauma, sakit hati, bahkan sampai kehilangan nyawa, adalah harga yang kadang kadang begitu mahal dibayar karena perilaku orang yang tidak bertanggung jawab.

Berbeda lagi dengan tindak laku korupsi dan penggelapan yang bisa lebih dipersempit ruang lingkup kejadiannya. Korupsi dan penggelapan biasanya hanya berkaitan dengan materi, uang ataupun barang. Disini, rasanya boleh dibilang keserakahan yang menjadi alasan bagi para pelaku. Seseorang yang melakukan tindak korupsi secara individual biasanya akan memanipulasi data untuk mengaburkan situasi. Penyusunan skenario kebohongan jarang sekali berakhir dengan kesuksesan, walaupun ada beberapa yang berhasil juga tentunya. Tetapi memang kodrat sebagai manusia jugalah yang menunjukkan kelemahan dalam setiap penyusunan kebohongan. Terkadang para sutradara dadakan ini menjadi gelap mata sehingga ia lupa akan hal hal kecil. Dan biasanya dari hal hal kecil itulah yang menjadi petunjuk untuk mengungkap drama kebohongan ini. Uang atau barang yang digelapkan tentu saja dengan lancar mengalir demi kepentingan pribadi sendiri tanpa memikirkan rasa kemanusiaan bahkan dosa. Keserakahan menjadi monster dalam dirinya sendiri dan menutupi semua kebaikan yang pernah diperoleh dari orang yang mereka rugikan.

Terbersitkah dalam pikiran para koruptor itu, bagaimana dengan keluarga atau seikatan darah yang diberi makan, atau hidup dari uang haram tersebut? Terpikirkah bagaimana hasil yang mereka peroleh jika anak anak mereka besar nanti? Terlintaskah bagaimana jika mereka diposisikan sebagai pihak yang dirugikan setelah tak terhitung kebaikan yang diberikannya? Pernahkah hal hal seperti ini mampir di pikiran dan hati mereka? Mungkin tidak dikala mereka sedang senang dan tanpa beban menghabiskan uang yang mereka dapat, tapi aku yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Di lubuk hati yang terdalam (jika masih punya tentunya), mereka pasti menangis tersungkur, menyesali bahwa anak anak mereka hidup dari nafkah yang didapat orang tua yang berlaku jahat dan tidak adil pada orang lain. Maka...berpikirlah, bahwa seterbuka apapun kesempatan di depan mata kalian, jika semua diredam dengan hati yang bersyukur, maka kejahatan tidak akan pernah terlaksanakan...

Bersyukurlah dengan apa yang dimiliki, wahai manusia...

18:53, October 30, 2006

No comments: