Monday, July 10, 2006

EPISODE MENJELANG PERGI...

Kurapikan semua milikku yang tertinggal disana. Berat hati meninggalkan tempat indah ini, hatiku berbisik. Sudut sudut rumah indah itu masih tertata rapi, sofa tempat kita suka bergurau, perapian yang menjadi saksi jalin kasih kita, kursi kursi ruang makan tempat kita berbagi apa yang dialami sepanjang hari, dan bahkan setiap kotak keramik masing masing memiliki kenangan atas apa yang kita lewati. Engkau terdiam di sofa besar itu menatapku penuh rasa bersalah. Sudah kubilang berulang kali kalau ini bukanlah salah siapa siapa, tapi apa mau dikata jika memang itu yang engkau rasakan. Tak kuasapun aku menghadang arus kebersalahanmu.

“Maafkan aku…”ucapmu yang keenam kali hari ini.
“Sudah termaafkan olehku…” jawabku juga yang keenam kalinya.

Logika kali ini dengan gagah dan tegap berjalan menapaki jalur yang memang seharusnya ditempuh sejak lama. Hati tetap saja bergumul dengan ketidakrelaan dan bertahan melumuri diri dengan alasan alasan klise tentang cinta dan cinta.

Sejak aku mengetahui kabar menduamu, kupikir aku akan kuat menampik diri. Membawa rasa sayangku mengalahkan kesalahanmu. Tadinya kupikir juga begitu, tapi entah mengapa pertanyaan demi pertanyaan logika membuat hati begitu terluka. Kukira, hanya efek lecet saja yang menggores hati, tetapi semakin hari terpikir betapa tidak adilnya engkau terhadapku, betapa engkau hempaskan kepercayaanku, betapa engkau terlena dalam cerita cerita indah bersamanya. Luka hatiku kau buat sudah, sayang. Entah bagaimana semua bisa menjadi seperti ini. Aku pikir, aku adalah sebelah hatimu, bersama kita berdua menjadi satu yang utuh. Ternyata engkau pun miliki sebelah hati yang lain. Mungkin saja tegur sapa dan saling kagum menjadi pemantik api diantara kalian. Tapi, bukankah seharusnya logika menjaga hati supaya tidak terlalu berhambur, seperti yang pernah engkau bilang padaku dulu?

Rumah ini menjadi begitu sepi. Beberapa hari tanpa ada suaraku dan suaramu yang memenuhi seluruh luas tembok dan lantai. Aku tetap berkemas, walau separuh hatiku luluh melihatmu begitu sendu.

“Jangan pergi. Dunia pasti akan berbeda tanpamu”
“Mungkin akan berbeda tapi pasti akan baik baik saja”

Air mataku jatuh lagi, mengaliri pelupuk mata yang masih saja sebam bekas menangis semalam. Kerap aku terus menyalahkan diriku sendiri yang mungkin terlalu mendramatisir, ataupun diri yang terlalu berlebihan menanggapi semua. Tapi tindakanmu sungguh berada di luar kemampuan nalarku. Alasanmu bahwa engkau hanya mengikuti arus yang ia bawa tidak cukup membuatku kembali menerimamu. Karena jika memang begitu, jika memang hanya aku yang tinggal di hatimu, engkau akan sepenuh tenaga melawan arus untuk kembali padaku. Tidak ada yang salah sebenarnya. Memang hanya saja semua mungkin sudah tergaris untuk terjadi. Akhir cerita yang tadinya hanya menjadi momok atas keterikatan, sekarang mendorongku lepas dari tali lingkupan duniamu.

Kulewati adamu untuk memunguti bunga lili putih pemberianmu minggu lalu, yang sekarang mulai layu. Aku merasakan kokoh tanganmu meraih lengan kananku. Rasa untuk berada di lingkupan lengan itu sesaat merayuku, tapi sekali lagi logika merajaiku. Engkau mengambil daguku dan menatapku lekat.

“I miss our days…and our home too”

Ah, aku ingat waktu pertama kali engkau memperlakukanku dengan begini lembut. Aku ingat nyamannya dan debar jantungku yang menjadi tak beraturan seketika. Matamu menghujam dalam membawakan segenap maaf dan sesal. Mulutku berucap hampir tak terdengar.

“I miss it too. So much. Tapi…” hanya air mata yang melanjutkan sisa kalimatku.

Aku tinggalkan engkau diam berdiri sendiri disana. Aku berlari ke kamar, membenamkan wajah dan diriku di tempat tidur. Disinipun baumu membuatku begitu bimbang. Bisakah aku tinggalkanmu? Dapatkah cerita tentangmu hanya tersimpan di rak ingatanku? Entahlah…biar kotakku yang berlabel “waktu” itu menjadi jawabnya.

17:20 – July 10, 2006

1 comment:

buderfly said...

rumah langit itu,
meski tak berbatu dan tak berkayu
ia kokoh memelihara kebun nyaman didalamnya

hanya yang memilikinya yang pantas dan sanggup merasakanya..

dia terbangun dari kabut dan awan senja
maka tak sesuatupun sanggup kan merubuhkanya...

ada saatnya nanti, kita pasti kembali kesana
menyalakan tungku perapian dan bebagi kebekuan yang kita punya...